pages

Sabtu, 24 September 2011

Sejarah Berhitung dan Perkembangannya ( Berhitung Sejak Zaman Purba Sampai Zaman Yunani Kuno )dowload


Sejarah Berhitung dan Perkembangannya
( Berhitung Sejak Zaman Purba Sampai Zaman Yunani Kuno )

Matematika tidak hanya tentang berhitung. Berhitung hanya merupakan salah satu cabang dari matematika. Namun berhitung ada dan dibutuhkan  hampir di semua cabang dari matematika yang ada saat ini. Dari 80 cabang besar matematika, berhitung ada dan turut berperan penting di hampir semua cabang besar tersebut, baik sebagai terapan maupun sebagai alat bantu dalam perhitungan.
Berhitung pada umumnya didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang bilangan. Lebih lengkapnya, Webster’s New Third International Dictionary merumuskan berhitung sebagai “cabang matematika yang berkenaan dengan sifat dan hubungan bilangan-bilangan nyata dan dengan perhitungan mereka terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Untuk lebih memahami makna berhitung, maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai pengertian dari bilangan. Menurut Bruce E. Meserve, bilangan adalah suatu abstraksi, artinya bilangan tidak memiliki keberadaan secara fisik. Namun, bilangan dapat dituliskan dengan lambang-lambang yang dapat mewakili suatu bilangan yang ingin disampaikan.
Bilangan sendiri muncul karena adanya suatu kuantitas yang ingin diungkapkan. Setelah bilangan sudah dapat dituliskan dengan lambang-lambang bilangan, selanjutnya manusia mulai mengembangkan sifat-sifat, hubungan, aturan, serta perhitungan yang terjadi antar bilangan-bilangan tersebut sehingga muncullah istilah berhitung.
Sejarah berhitung merupakan sejarah yang panjang, karena berhitung sendiri telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Tidak ada yang mengetahui oleh siapa,  dimana, dan kapan tepatnya berhitung ditemukan, karena sebenarnya berhitung bukan merupakan temuan para pemikir, namun berhitung merupakan sebuah kebutuhan yang ada di dalam diri manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh sebab itulah perkembangan berhitung terpencar di berbagai pusat kebudayaaan kuno dengan pertumbuhan yang terpisah-pisah.
Secara garis besar, tahapan pertumbuhan berhitung dari zaman kuno sampai masa kini:
1.      Zaman purbakala – Tahun 600 SM                       Mesopotamia dan Mesir kuno
2.      Tahun 600 SM – Tahun 450                                 Yunani Kuno
3.      Tahun 450 – Tahun 1200                                      Hindu-Arab
4.      Tahun 1200 – Tahun 1600                                    Eropa Lama
5.      Tahun 1600 – Sekarang                                        Masa kini
Peninggalan sejarah berhitung yang tertua adalah dari zaman Mesopotamia dan Mesir Kuno. Namun, bukan berarti pada masa itulah berhitung pertama kali ada. Sebenarnya berhitung sendiri telah ada dan dipergunakan oleh masyarakat primitif sejak zaman Batu Tua atau Paleolitikum. Hal ini dibuktikan dengan seiring ditemukannya sisa-sisa kebudayaan suku bangsa yang dianggap primitif, ditemukan pula bukti bahwa suku tersebut sudah mengenal berhitung.
Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai perkembangan berhitung pada Zaman Batu Tua dan Zaman Batu Muda:
1.      Zaman Batu Tua (Paleolitikum)
Salah satu ciri dari kebudayaan pada masa ini adalah sikap pasif manusia terhadap alam. Mereka hidup berpindah-pindah tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka belum bisa mengolah lingkungan sekitarnya untuk disuaikan dengan kebutuhan. Hal ini menunjukkan bahwa pola pikir masyarakat pada zaman ini belum berkembang pesat.

Senin, 19 September 2011

Proposal Pendidikan Matematika_Rina Sri Noviani ACA 108 030


Proposal Pendidikan Matematika_Rina  Sri Noviani ACA 108 030
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
      Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin pesat telah menuntut penggunaan matematika yang semakin luas dan canggih. Bahkan perkembangan ilmu dan teknologi telah memacu perkembangan matematika itu sendiri. Untuk itu matematika sebagai salah satu sarana penguasaan ilmu dasar yang diajarkan di semua jenjang pendidikan sejauh mungkin disesuaikan dengan perkembangan kognitif peserta didik. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam sambutannya pada Konferensi Matematika Asia Tenggara VI, tahun 1993, mengemukakan bahwa pelajaran Matematika yang diberikan terutama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dimaksudkan agar pada akhir setiap tahap pendidikan peserta didik memiliki kemampuan tertentu yang diperlukan bagi kehidupan selanjutnya. Di antara kemampuan-kemampuan itu adalah kemampuan komputasi dan kemampuan menerapkan matematika.
      Kemampuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan penalaran yang ditumbuhkan melalui pelajaran matematika. Dengan demikian proses belajar mengajar matematika perlu mendapat perhatian khusus agar dapat memberikan sumbangan yang besar dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama dalam menghadapi tantangan masa depan. Salah satu bagian matematika yang perlu menjadi pusat perhatian dalam hal penguasaan siswa adalah konsep pecahan, karena konsep pecahan merupakan konsep dasar dalam matematika yang masih sulit dikuasai oleh siswa sehingga memerlukan perhatian khusus dalam pengajarannya di sekolah, terutama di sekolah dasar. Hal ini disebabkan karena sekolah dasar merupakan basis yang sangat menentukan dalam pembentukan sikap, kecerdasan, dan kepribadian anak didik. Konsep pecahan ini dibahas sebagai respon banyaknya guru, baik di tingkat sekolah menengah pertama maupun di tingkat sekolah menengah atas, yang mengeluh karena ketidakmampuan siswa-siswanya dalam perhitungan pecahan. Diduga ketidakmampuan siswa-siswa di tingkat sekolah menengah pertama sampai di tingkat sekolah menengah atas merupakan akibat dari kurangnya penguasaan konsep pecahan bagi siswa-siswa tersebut di sekolah dasar.
     Marks (1988:151) berpendapat bahwa sejak dahulu bilangan pecahan merupakan materi yang sukar bagi anak-anak. Algoritma untuk menghitung pecahan tidak praktis dalam arti sulit sebagai contoh, untuk menghitung pecahan senilai, siswa harus memikirkan pembilang dan penyebutnya. Augustine, Charles dan Smith (1992) berpendapat bahwa material kongret (alat peraga) dapat membantu siswa mengatasi kesulitan belajar tentang pecahan senilai. Salah satu rambu-rambu pelaksanaan GBPP menyatakan bahwa “dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial” (Depdikbud, 1993:3). Rambu ini mengisyaratkan kepada guru bahwa guru harus memilih metode dan alat peraga yang sesuai dengan materi.
     Berdasarkan wawancara dengan seorang guru kelas IV SDN Bukit Tunggal 7 Palangka Raya, berkenaan dengan materi yang masih sulit dipahami oleh siswa kelas IV.  Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar siswa kelas IV masih mengalami kesulitan dalam mengerjakan penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Bahkan sebagian siswa kelas V masih sulit menyederhanakan bilangan pecahan (pecahan senilai). Dari wawancara tersebut terungkap pula bahwa dalam mengajarkan konsep yang berhubungan dengan bilangan pecahan, guru itu belum pernah mencoba menggunakan alat peraga konkrit. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya alat peraga yang tersedia, terbatasnya waktu yang dibutuhkan dalam pembelajaran dengan menggunakan alat peraga. Akibatnya, siswa mengalami kesulitan belajar memahami konsep yang berhubungan dengan bilangan pecahan (pecahan senilai).
    Hasil penelitian yang dilakukan Kanwil Depdikbud dan IKIP Surabaya (1987) tentang kamampuan berhitung siswa SD menunjukkan bahwa siswa masih lemah dalam memahami urutan dari beberapa pecahan, nama lain suatu pecahan dan operasi dengan pecahan (Soedjadi, 1991). Sementara itu Ashlockk (1994:74-75) menemukan beberapa pola kesalahan yang dilakukan oleh siswa  SD. Misalnya, pola kesalahan yang dilakukan siswa dalam mengerjakan pecahan senilai, yaitu , dan . Sedangkan pola kesalahan yang dilakukan siswa dalam mengerjakan penjumlahan pecahan, yaitu , .
     Hasil penilaian menunjukkan bahwa “penguasaan kesamaan pecahan merupakan penyebab langsung penguasaan penjumlahan pecahan”. Secara teoristis menurut Hudojo (1990:4) bahwa “mempelajari konsep B yang mandasarkan konsep A, seseorang perlu memahami lebih dahulu konsep A. Tanpa memahami konsep A, tidak mungkin orang itu memahami konsep B”. Ini berarti, agar siswa dapat belajar memahami penjumlahan pecahan, terlebih dahulu siswa perlu memahami pecahan senilai. Atas pertimbangan masih sulitnya siswa memahami pecahan senilai baik secara prosedural maupun konseptual, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Mengatasi Kesulitan Siswa Dalam Pemahaman Konsep Pecahan Senilai Kelas IV SDN Bukit Tunggal 7 Palangka Raya”. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mengatasi kesulitan siswa memahami tentang pecahan senilai dengan menggunakan tiga model alat peraga yang berbeda jenis. Adapun alat peraga yang dimaksud adalah model luas daerah, model panjang, dan model himpunan.
1.2 Identifikasi Masalah
 Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat di identifikasikan beberapa masalah dalam penelitian ini adalah:
1.      Kesulitan siswa dalam mengerjakan penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama dan masih sulitnya menyederhanakan bilangan pecahan (pecahan senilai).
2.      Guru belum pernah menggunakan alat peraga konkrit. Akibatnya, siswa mengalami kesulitan belajar memahami konsep yang berhubungan dengan bilangan (pecahan senilai).
3.      Kemampuan berhitung siswa SD menunjukkan bahwa siswa masih lemah  dalam memahami urutan dari beberapa pecahan, nama lain suatu pecahan atau operasi dengan pecahan dan sering ditemukannya pola kesalahan yang di lakukan siswa dalam mengerjakan pecahan senilai. 


1.3 Pembatasan Masalah
        Untuk menghindari luasnya penafsiran terhadap masalah yang akan diteliti maka peneliti memandang perlu adanya pembatasan masalah. Oleh karena itu masalah penelitian ini dibatasi pada hal-hal sebagai berikut:
1.        Materi yang dibahas adalah mengatasi kesulitan siswa dalam pemahaman konsep pecahan senilai bagi siswa kelas IV SDN Bukit Tunggal 7 Palangka Raya dengan menggunakan alat peraga yaitu, dengan model luas daerah, model panjang, dan model himpunan.
2.        Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif.
3.        Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas IV SDN Bukit Tunggal 7 Palangka Raya Tahun Ajaran 2010/2011.
    1.4 Rumusan Masalah
     Adapun masalah yang dibahas dalam penelitian:
1.      Di manakah letak kesulitan siswa dalam pemahaman konsep pecahan senilai bagi siswa kelas IV SDN Bukit Tunggal 7 Palangka Raya?
2.      Apakah dengan alat peraga dapat mengatasi kesulitan siswa dalam pemahaman konsep pecahan senilai bagi siswa kelas IV SDN Bukit Tunggal 7 Palangka Raya ?        
1.5 Tujuan Penelitian
      Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.        Untuk mengetahui letak kesulitan siswa dalam pemahaman konsep pecahan senilai bagi siswa kelas IV SDN Bukit Tunggal 7 Palangka Raya.
2.        Untuk mengetahui apakah dengan alat peraga dapat mengatasi kesulitan siswa        dalam pemahaman konsep pecahan senilai bagi siswa kelas IV SDN Bukit   Tunggal 7 Palangka Raya.
1.6 Manfaat Penelitian
      Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah:
1.        Sebagai bahan masukan bagi Peneliti untuk mengatasi kesulitan siswa dalam pemahaman konsep pecahan senilai menggunakan tiga jenis alat peraga.
2.        Sebagai bahan acuan bagi guru SDN Bukit Tunggal 7 Palangka Raya kelas IV, khususnya dalam mengatasi kesulitan siswa dalam pemahaman konsep pecahan senilai dengan menggunakan model luas daerah, model panjang, dan model himpunan.
3.        Sebagai bahan kajian untuk penelitian lebih lanjut dalam mengatasi kesulitan dalam pemahaman konsep pecahan senilai.
4.        Membantu siswa kelas IV SDN Bukit Tunggal 7 Palangka Raya untuk mengatasi kesulitan belajar dalam pemahaman konsep pecahan senilai.
5.        Bagi Lembaga, penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan yang harapannya dapat digunakan untuk pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pembelajaran matematika dan memberikan penjelasan bagi pihak-pihak yang memerlukan.
1.7    Penjelasan Istilah Kunci
       Untuk menghindari salah penafsiran terhadap maksud penelitian ini, maka perlu di jelaskan istilah kunci yang ada di dalam penelitian ini adalah:
1.      Mengatasi kesulitan siswa dalam pemahaman konsep pecahan senilai dengan menggunakan alat peraga yaitu, model luas daerah, model panjang, dan model himpunan merupakan teori yang menjembatani pengalaman sehari-hari dengan pembelajaran matematika di sekolah.
2.      Pecahan adalah  dengan b dan b bukan faktor dari a. Pada pecahan  , a disebut pembilang dan b disebut penyebut.
3.      Pecahan senilai adalah pecahan-pecahan yang cara penulisannya berbeda, tetapi mempunyai hasil bagi sama dan mewakili bagian atau daerah yang sama.